Skip to main content

Posts

Showing posts from 2013

Hematnya Pembuatan STNK baru tanpa (harga) Calo

Akibat pencurian di rumah saya pada tanggal 26 Maret 2013, banyak dokumen-dokumen penting raib, tidak hanya data-data yang berada di Laptop dan Eksternal Hardisk yang memang turut dibawa, tetapi juga dokumen fisik seperti STNK, SIM, KTP dan lain sebagainya. Sudah menjadi rahasia publik bahwa semua hal yang berhubungan dengan birokrasi di Indonesia sangat rumit dan berbelit (red-tape) . Siapa pun yang berhubungan dengan pelayanan birokrasi kita harus memiliki kesabaran tinggi, mau di ping pong ke sana kemari, dan harus memiliki nyali. Setali tiga uang, begitu pun dengan yang terjadi di birokrasi Kepolisian, tidak jauh berbeda dengan departemen-departemen lain. Dalam tulisan ini, saya mau berbagi pengalaman mengurus pembuatan STNK baru yang hilang. Meskipun saya tidak mengetahui persis apa prosedurnya dan bagaimana mekanisme pembuatan STNK baru tersebut, saya menyadari bahwa untuk mengurus STNK tersebut tidaklah mudah. Dan ini menjadi tantangan tersendiri bagi saya, di sampi

STNK HILANG

Tanggal 26 Maret 2013, kira-kira pukul 02.00 atau Selasa dini hari, di rumah kami Perumahan Villa Perwata, Kelurahan Pondok Petir, Kecamatan Bojongsari Depok telah terjadi pencurian.   Kasus ini sedang ditangani Polsek Sawangan. Dari berbagai barang-barang yang diambil pencuri, salah satunya adalah Surat Tanda Nomor Kendaraann (STNK) Sepeda Motor Merk Suzuki   Thunder tipe EN 125 A,   warna Biru dengan Nomor Polisi F 5196 BJ, atas nama Fitri Oktaviani. Kami sangat berharap STNK tersebut bisa kembali. Oleh karena itu, bagi yang menemukan STNK dengan ciri-ciri seperti tersebut di atas, mohon kiranya untuk memberitahu kami di nomor kontak 08881344978. Atas perhatiannya kami sampaikan banyak terima kasih. Hormat Kami Fitri Oktaviani

Bom Waktu Pemilih Buruk

WACANA Koran Suara Merdeka 28 Maret 2009 Bom Waktu Pemilih Buruk Oleh Fatkhuri   0   0 FENOMENA  politik Indonesia memang unik --untuk tidak mengatakan kompleks. Wajah perpolitikan Indonesia selalu tidak bisa dilepaskan dari perlagaan dan berbagai tingkah laku para politikus. Ada dua elemen penting yang menarik didiskusikan. Pertama perilaku elite politik yang digolongkan sebagai politikus busuk. Yang menarik politikus busuk ini dinilai banyak kalangan sebagai biang kehancuran bangsa ini sehingga reformasi terseok-seok.  Kedua pemilih buruk. Fenomena ini hampir luput dari perhatian kita padahal fenomena ini tidak kalah menarik dari politikus busuk. Keduanya memiliki kesamaan bentuk, yakni sama-sama pragmatis dengan menafikan aspek rasionalitas dan moral. Yang pertama pragmatisme elite untuk mengejar dan mempertahankan kekuasaan dan yang kedua pragmatisme grass root masyarakat untuk mendapatkan imbalan berupa uang dan semacamnya. Ada dua pertanyaan yang

Politik Selebriti dan Paradoks Demokrasi

Opini Detik.Com Rabu, 19/05/2010 07:55 WIB Fatkhuri SIP MA MPP   - detikNews Jakarta  - Panggung politik Indonesia tidak pernah sepi dari hingar-bingar dinamika yang menyertainya. Politik selebriti kian ramai diperbincangkan dan kerap kali menjadi menu hangat yang tak ada habis-habisnya dalam pemberitaan media massa. Baik cetak maupun elektronik.  Kehadiran artis dalam dunia politik mengundang decak kagum. Tapi, juga tidak sedikit yang menentangnya. Itulah manifestasi pelaksanaan demokrasi. Dalam alam demokrasi siapa pun mempunyai hak untuk berekspresi. Tak terkecuali artis dalam politik. Tak seorang pun yang bisa melarang apalagi menjegal selebriti untuk terjun dalam politik. Bagi yang menjegal bisa jadi mereka akan dianggap bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi (baca: melanggar HAM) yang mengagungkan kebebasan. Meskipun kebebasan tersebut tentu mempunyai batasan.  Contoh yang paling aktual adalah penentangan yang datang dari Ketua Umum Asosiasi Konsult

Budaya Korupsi: Problem Hedonis dan Permisif

Budaya Korupsi: Problem Hedonis dan Permisif Fatkhuri, S.IP, MA, MPP  - detikNews Opini, 4 Mei 2010 Jakarta  - Montinola dan Jackman (2002) dalam karyanya yang berjudul Sources of Corruption: A cross-country study, mengatakan bahwa budaya korupsi merupakan norma-norma sosial yang menekankan pada pemberian hadiah (berupa suap), dan semangat kepatuhan terhadap keluarga dan kroni-kroninya. Atau mereka menyebutnya dengan sebutan clan daripada terhadap aturan atau undang-undang. Norma-norma dan tingkah laku koruptif sebagaimana dikatakan oleh Banfield (1958), dan Wraith dan Simkins (1963) bisa menyebabkan ekonomi collapse (berbahaya), dan dari sudut pandang politik merupakan tindakan yang bukan hanya tidak etis akan tetapi juga tidak bermoral. Maraknya kasus korupsi di Indonesia yang menimpa para pejabat publik baik pada level eksekutif, legislatif, maupun yudikatif menunjukkan bahwa budaya korupsi telah mengakar begitu kuat. Akar masalah korupsi saat ini disinyalir bu