Skip to main content

Hematnya Pembuatan STNK baru tanpa (harga) Calo





Akibat pencurian di rumah saya pada tanggal 26 Maret 2013, banyak dokumen-dokumen penting raib, tidak hanya data-data yang berada di Laptop dan Eksternal Hardisk yang memang turut dibawa, tetapi juga dokumen fisik seperti STNK, SIM, KTP dan lain sebagainya.
Sudah menjadi rahasia publik bahwa semua hal yang berhubungan dengan birokrasi di Indonesia sangat rumit dan berbelit (red-tape). Siapa pun yang berhubungan dengan pelayanan birokrasi kita harus memiliki kesabaran tinggi, mau di ping pong ke sana kemari, dan harus memiliki nyali. Setali tiga uang, begitu pun dengan yang terjadi di birokrasi Kepolisian, tidak jauh berbeda dengan departemen-departemen lain.
Dalam tulisan ini, saya mau berbagi pengalaman mengurus pembuatan STNK baru yang hilang. Meskipun saya tidak mengetahui persis apa prosedurnya dan bagaimana mekanisme pembuatan STNK baru tersebut, saya menyadari bahwa untuk mengurus STNK tersebut tidaklah mudah. Dan ini menjadi tantangan tersendiri bagi saya, di samping itu saya juga memiliki kepentingan untuk mengetahui berapa sebetulnya biaya pembuatan STNK baru. Rasa penasaran terhadap biaya ini bukan tanpa alasan, sebab dari cerita berbagai pihak, pembuatan STNK menelan biaya yang tidak sedikit. Cerita ini semakin dipertegas dengan adanya penawaran dari berbagai oknum Polisi yang ingin membantu mengurus pembuatan STNK saya, baik yang menyampaikannya melalui SMS maupun secara terbuka di Kantor Polisi. Jujur saja, bagi saya angka yang mereka tawarkan cukup fantastis, ada yang menawarkan harga Rp. 400.000, Rp. 600.000 bahkan ada yang menawarkan Rp. 800.000. Pada awalnya saya mengira angka tersebut sudah paling tinggi, tetapi pengalaman seorang teman yang ikut memberikan komentar di status facebook saya ketika saya berbagi tentang biaya yang saya keluarkan dalam membuat STNK malah bisa sampai Rp. 1.250.000 dan membutuhkan waktu dua minggu. Melihat besarnya biaya ini, keinginan saya untuk mengurus STNK tanpa perantara Calo semakin kuat.
Proses pengurusan STNK yang saya lakukan membutuhkan waktu tiga hari dan hanya menelan biaya super murah atau “sangat hemat”. Berapa total biaya yang saya keluarkan? Percaya atau tidak, saya hanya mengeluarkan biaya sebesar Rp. 83.000. Angka tersebut jauh lebih murah dari pengalaman seseorang yang juga mengurus sendiri tanpa calo, tetapi menghabiskan biaya sebesar Rp. 143.000. Sebetulnya proses pengurusan STNK saya bisa dipersingkat menjadi dua hari jika saja tidak terkendala mati lampu pada hari kedua di Sat Reskrim, dan jika saja saya datang ke Kantor Samsat Kota Bogor sejak pagi hari.
Ada sepuluh langkah atau tahapan yang harus saya lalui. Sebagaimana tertera dalam persyaratan pembuatan STNK Duplikat yang saya terima, yakni:
1.    BPKB Asli/ Surat Ket Leasing
2.    KTP Asli (jika hilang seperti dalam kasus saya, bisa dengan menggunakan KK)
3.    Surat Laporan Kehilangan dari Polsek terdekat
4.    Kiping Iklan Koran di sana tertera minimal dua media (wajib bagi yang mengurus sendiri)  
5.    Cek fisik kendaraan, bisa dilakukan di Samsat terdekat.
6.    Surat Keterangan Arsip Samsat
7.    Surat Keterangan Unit Tilang
8.    Surat Keterangan Unit LAKA
9.    BAP Reskrim
10. Surat Rekomendasi Kasat Lantas

Tahap 1 sampai 6 diurus di kantor Samsat sedangkan tahap 7 sampai 10 di Kantor Polresta. Jika jarak dua kantor tersebut berdekatan, akan lebih menghemat waktu dan tenaga, tetapi jika jarak keduanya berjauhan seperti di Kota Bogor, tempat di mana saya mengurusnya, tentu sangat melelahkan. Perlu diketahui bahwa waktu yang ditempuh sekitar 20 menit untuk mondar-mandir di dua kantor tersebut. Perlu saya sampaikan di sini bahwa setiap langkah/tahapan dari sepuluh langkah/tahapan tersebut pada dasarnya rawan PUNGUTAN LIAR. Pungutan ini ada yang disampaikan terang-terangan tetapi ada pula yang disampaikan melalui bahasa tubuh (gesture).
Meskipun saya lolos dari jebakan pungli di banyak tahapan, tetapi saya tetap saja dikenakan biaya pada tahap ke 5, ketika cek fisik dilakukan. Tahap ke 4 juga rawan terjadi transaksi antara Petugas dan Pemohon. Yakni berkaitan dengan pemuatan berita kehilangan di media. Hal ini cukup beralasan sebab tidak semua orang mau untuk menulis berita kehilangan, apalagi wajib dimuat di dua media. Pengalaman saya, publikasi berita kehilangan ini tidak harus di media cetak, bisa dilakukan di media online. Bagi mereka yang ingin mengurus sendiri, kliping koran ini wajib sebab petugas akan memeriksa kelengkapan dokumen dan jika tidak terdapat lampiran koran, maka akan dikembalikan. Ini berbeda ceritanya jika seseorang tersebut mengurus melalui perantara Calo.
Berkaitan dengan Pungli, pengalaman saya, satu petugas yang terang-terangan meminta tambahan jasa yakni di tahap ke lima (Cek Fisik). Menurut penuturan petugas yang melakukan, biaya cek fisik Rp. 15.000, dan uang tambahan jasa  terserah pemohon. Pada saat itu memberi Rp. 30.000 sudah termasuk cek fisik. Cek fisik pun sebetulnya tanpa biaya, sebab hanya melakukan gesekkan ke No Rangka dan dilakukan hanya kurang lebih dua menit. Adapun oknum Polisi yang meminta dengan gesture saya temukan di tahap ke sepuluh, pada saat membuat Surat Rekomendasi Kasat Lantas. Saya masuk di tahap ini sekitar pukul 10.30 Wib di hari ketiga, setelah selesai proses BAP di Sat Reskrim. Petugas di bagian ini bilang, bahwa Surat Rekomendasi yang saya butuhkan tidak bisa diproses saat itu. Tentu hal ini membuat saya kecewa sebab saya butuh menyelesaikannya hari itu juga karena tidak mungkin harus balik lagi di hari keempat, apalagi hari berikutnya adalah Sabtu. Setelah saya jelaskan bahwa jarak tempuh saya cukup jauh dari Polresta Bogor karena saya tinggal di Depok, juga karena kesibukan saya di kantor, maka saya minta agar bisa secepatnya diselesaikan. Petugas Polisi tersebut malah menjawab, kalau seandainya saya sibuk dan tidak mau bolak balik lagi, dia menyarankan untuk dititipkan saja sebab menurutnya dia juga menerima banyak dokumen bahkan dari akhir Maret 2013 yang belum bisa diproses (sambil menunjukkan tumpukkan dokumen beberapa orang yang menitip ke dia). Saya sangat mafhum, jika saya menitipkan dokumen ke dia, apalagi harus menunggu beberapa hari, artinya akan ada fee tambahan (Pungli) meskipun tidak secara langsung meminta. Singkat cerita, setelah saya sampaikan bahwa saya ini Dosen, tidak mungkin harus meninggalkan tugas terus-menerus apalagi mengajar di Jakarta, bukan di Bogor yang bisa bolak-balik kapan saja, akhirnya Petugas Polisi tersebut memberikan kebijaksanaan dan menyampaikan bahwa dia akan berusaha meskipun tidak bisa menjanjikan hari itu mendapat tanda tangan. Akhirnya dia meminta nomor HP saya, dan meminta saya menunggu di luar, jika proses selesai saya akan dihubungi. Sebelum saya meninggalkan ruangan, saya sempat bertanya, apakah nanti saya langsung ke ruangan ini atau tidak. Petugas tersebut malah menjawab, tidak usah, nanti akan ditemui di luar, sebab di ruangan cukup rame. Dari gelagat petugas ini, saya menangkap sinyal dia sebetulnya meninginkan saya memberi sesuatu, apalagi tidak mau ditemui di ruangan. Benar saja, pukul 11.20 Wib, saya menerima telpon dari nomor petugas itu, dan dia meminta saya menemuinya di luar. Begitu saya keluar dari Masjid, karena saya sebetulnya sudah siap-siap menunaikan sholat Jum’at, petugas tadi sudah berdiri di pinggir lapangan dekat masjid menunggu saya dengan membawa Map yang berisi dokumen yang saya butuhkan. Dia jelaskan, bahwa dokumen bisa cepat diurus karena kebetukan pimpinan baru datang sehingga bisa langsung dimintai tanda tangan (bagi saya ini hanya alasan saja). Setelah ngobrol basa-basi, saya akhirnya pamitan dan mengucapkan terima kasih.
Setelah tahap ke 10 selesai, saya pergi menuju Kantor Samsat. Di sana, saya menemui petugas yang hari sebelumnya menerima dokumen saya. Setelah memberikan dokumen dari Polresta, saya diarahkan menuju Loket Satu. Di sini saya mengisi formulir Identitas Pemilik Kendaraan. Setelah pengisian selesai, dokumen diserahkan ke Petugas lagi dan tinggal menunggu Panggilan dari Loket Pembayaran. Petugas di Loket Pembayaran hanya meminta uang Rp. 50.000, sebelumnya saya mengira bisa sampai lebih dari Rp. 100.000. Begitu pembayaran selesai dilakukan, STNK bisa langsung diambil di Loket Penyerahan secara bergiliran sesuai nomor antrian. Dengan demikian, secara rinci bisa saya uraikan bahwa biaya pengurusan pembuatan STNK tanpa calo sebagai berikut:
1.    Biaya cek fisik Kendaraan (motor) dan Jasa Rp. 30.000
2.    Biaya fotocopy Rp. 2000
3.    Pembayaran STNK baru Rp. 50.000
4.    Biaya Plastik tempat STNK Rp. 1000
Dengan demikian, total biaya yang dibutuhkan adalah Rp. 83.000. Angka ini tentu sangat jauh dari angka yang ditawarkan oknum Polisi sebesar Rp. 600.000 dan Rp. 800.000, atau perantara calo lain sebagaimana seorang teman bercerita sebesar Rp. 1.250.000. Dari cerita pengalaman saya ini, banyak teman-teman yang terkejut, sebab fakta selama ini membuktikan bahwa pengurusan pembuatan STNK baru sangat mahal. Mengikis praktik percaloan di negeri kita memang butuh keberanian, komtimen kuat dan kesabaran sebab ini sudah menjadi kultur yang mengakar kuat. Dengan melawan arus seperti ini, secara tidak langsung, sesungguhnya kita sedang ikut andil dalam upaya pemberantasan korupsi. Mari Berantas Pungli !!!  
 

Comments

Popular posts from this blog

Budaya Korupsi: Problem Hedonis dan Permisif

Budaya Korupsi: Problem Hedonis dan Permisif Fatkhuri, S.IP, MA, MPP  - detikNews Opini, 4 Mei 2010 Jakarta  - Montinola dan Jackman (2002) dalam karyanya yang berjudul Sources of Corruption: A cross-country study, mengatakan bahwa budaya korupsi merupakan norma-norma sosial yang menekankan pada pemberian hadiah (berupa suap), dan semangat kepatuhan terhadap keluarga dan kroni-kroninya. Atau mereka menyebutnya dengan sebutan clan daripada terhadap aturan atau undang-undang. Norma-norma dan tingkah laku koruptif sebagaimana dikatakan oleh Banfield (1958), dan Wraith dan Simkins (1963) bisa menyebabkan ekonomi collapse (berbahaya), dan dari sudut pandang politik merupakan tindakan yang bukan hanya tidak etis akan tetapi juga tidak bermoral. Maraknya kasus korupsi di Indonesia yang menimpa para pejabat publik baik pada level eksekutif, legislatif, maupun yudikatif menunjukkan bahwa budaya korupsi telah mengakar begitu kuat. Akar masalah korupsi saat ini disinyalir bu

Politik Selebriti dan Paradoks Demokrasi

Opini Detik.Com Rabu, 19/05/2010 07:55 WIB Fatkhuri SIP MA MPP   - detikNews Jakarta  - Panggung politik Indonesia tidak pernah sepi dari hingar-bingar dinamika yang menyertainya. Politik selebriti kian ramai diperbincangkan dan kerap kali menjadi menu hangat yang tak ada habis-habisnya dalam pemberitaan media massa. Baik cetak maupun elektronik.  Kehadiran artis dalam dunia politik mengundang decak kagum. Tapi, juga tidak sedikit yang menentangnya. Itulah manifestasi pelaksanaan demokrasi. Dalam alam demokrasi siapa pun mempunyai hak untuk berekspresi. Tak terkecuali artis dalam politik. Tak seorang pun yang bisa melarang apalagi menjegal selebriti untuk terjun dalam politik. Bagi yang menjegal bisa jadi mereka akan dianggap bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi (baca: melanggar HAM) yang mengagungkan kebebasan. Meskipun kebebasan tersebut tentu mempunyai batasan.  Contoh yang paling aktual adalah penentangan yang datang dari Ketua Umum Asosiasi Konsult